Jumat, 11 April 2008

teori rouseau

J.J. Rousseau, seorang filsuf Prancis, mengeluarkan statemen dalam bukunya Contract Social yang terkenal dengan ilmu kenegaraannya. “Manusia terlahir bebas, tetapi ada belenggu-belenggu yang mengikat manusia tersebut”. Hal ini dimaksudkan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh manusia tidak pernah mutlak. Selalu akan terbentur dengan kebebasan individu lain. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kesepakatan agar tiap benturan kebebasan itu tidak menimbulkan konflik bahkan penghilangan kebebasan manusia lain. Kontrak itulah yang kemudian menjunjung tinggi adanya kedaulatan rakyat, pengutamaan suara mayoritas. Terkesan bahwa rakyat akan memiliki jaminan atas kebebasan mereka, tetapi kelemahan dari teori Rousseau ini adalah, yang ia tekankan adalah mayoritas, maka dimanakah suara bagi minoritas?

Kekejaman Rousseau sebagai pemikir kemudian menguat pada novelnya yakni Emile yang semakin memperkuat kata manusia hanya dimiliki oleh laki-laki. Perempuan tidak diakuinya sebagai manusia yang utuh. Perempuan adalah submanusia. Rousseau ingin menunjukkan bahwa perempuan tidak mungkin berada dalam lingkup akademis yang logis dan kritis. Sebaliknya, untuk dapat mengikuti kehidupan laki-laki, perempuan haruslah mendapatkan pendidikan yang membekali mereka sebagai calon istri yang baik. Alasan di balik pembedaan pendidikan ini adalah, perempuan memiliki sifat emosional yang lebih kompleks dibandingkan laki-laki. Pendidikan tersebut misalnya mengenai musik, sastra, dan keterampilan rumah. Dengan belajar hal-hal yang semacam itu, perempuan diharapkan mampu mengimbangi pola hidup laki-laki yang penuh dengan pemikiran. Pendidikan untuk laki-laki sendiri mencakupi bidang politik, hukum, filsafat, ekonomi, dan pendidikan formal lainnya. Jelas novel ini sangat misoginis karena menunjukkan bahwa perempuan takkan mampu mengikuti pola pendidikan laki-laki. Perempuan tidak dianggap sebagai manusia, ia dianggap sebagai submanusia. Akibat dari novel ini adalah, dalam masyarakat, semakin diyakini bahwa memang pendidikan untuk perempuan harus dibedakan dari pendidikan laki-laki. Perempuan hanya pantas dididik sebagai calon ibu rumah tangga yang baik, untuk mengimbangi suaminya nanti.

Muncullah kritik dari seorang feminis bernama Mary Wollstonescraft dalam bukunya Vindication of The Rights of Women (1789). Jika dikatakan bahwa perempuan harus dapat mengimbangi laki-laki dalam kehidupan, perempuan pun haruslah mengerti bidang-bidang yang dipelajari juga oleh laki-laki. Bagaimana mungkin perempuan dikatakan mengimbangi kalau ia tidak mengerti sama sekali pembicaraan yang dilakukan oleh laki-laki. Justru perempuan akan semakin mengalami penekanan karena ketidakpahamannya itu. Kondisi yang akan terjadi adalah, ketika suami pulang dari bekerja, lalu ia mengeluh mengenai keadaan di tempatnya bekerja termasuk mengenai isu yang sedang terjadi di masyarakat, si istri hanya dapat menjadi pendengar. Istri tidak akan berani memberikan pendapatnya karena tidak memiliki pengetahuan sama sekali. Walaupun ia berpendapat, suami tidak akan menanggapi karena menganggap bahwa istrinya tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Istri pun mengalami subordinasi. Oleh karena itu, Wollstonescraft mengkritik pembedaan pendidikan oleh Rousseau dan mengatakan bahwa, sebagai manusia, perempuan pun berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki agar dapat berpartisipasi dalam ruang publik.

Lebih lanjut lagi, dalam bukunya ini, Wollstonecraft mengajak perempuan-perempuan yang telah terbiasa hidup dalam sangkar emas untuk keluar dan mulai berdaya. Sangkar emas ini merupakan simbol dari keterlenaan perempuan yang mau diberi segala kemudahan dalam kehidupan, tetapi implikasi dari kemudahan itu adalah pengambil-alihan statusnya sebagai manusia bebas. Perempuan tidak mendapatkan haknya sebagai manusia, antara lain hak milik, hak pilih bahkan terkesan, hak hidupnya pun sudah dibatasi. Perempuan menjadi tergantung pada laki-laki (pada ayah ataupun pada suami). Jangan-jangan untuk bernafas pun perempuan harus menunggu aba-aba dari laki-laki. Masalah semacam ini semakin mengakar kuat dan memperburuk keadaan perempuan, karena sangkar emas membuat perempuan tidak ingin keluar dari kesemuan itu. Pola ini kemudian akan diturunkan ke anak-anak perempuannya sehingga muncul impian ingin mencari sangkar emas-sangkar emas baru, karena hanya pola hidup semacam inilah yang dimengerti oleh perempuan.

Perempuan yang hidup terlena dalam sangkar emasnya tidak menyadari bahwa problem-problem kehidupannya justru semakin terkubur oleh problem keluarganya. Identitasnya terkubur oleh identitas yang lebih kuat, dalam hal ini adalah identitas laki-laki yang menguasai kehidupannya. Akhirnya masalah yang dialami perempuan menjadi lebih kompleks, karena permasalahan yang dialaminya tidak dikenali oleh lingkungan sekitarnya. Perempuan akan dianggap hanya mengalami depresi atau stres pada umumnya. Permasalahan ini oleh Betty Friedan disebut sebagai The problem that has no name. Dan masalah inilah yang dialami oleh kebanyakan perempuan terutama dalam rumah tangganya sebagai akibat dari hak mereka sebagai manusia dibatasi. Bahkan mengeluh pun mereka harus menyadari posisi mereka.

Jika perempuan dibiarkan diam terus-menerus, akan semakin memperkeruh air masalah yang dialaminya. Tetapi untuk bisa menjernihkan kehidupan perempuan, dibutuhkan pengakuan akan hak-hak hidup perempuan. Perjuangan para feminis liberal inilah yang ingin mengeluarkan perempuan dari sangkar emas yang mengukung mereka. Hasilnya adalah, pengakuan akan hak milik, hak pilih bagi perempuan. Ini bukan perjuangan yang mudah, mengingat keterlenaan perempuan telah mengakar sejak lama. Tetapi bukan berarti sebuah teori tidak memiliki kelemahan. Ketika kita hanya fokus pada hak individu, yang bersifat eksternal, maka kita akan terbutakan oleh hal-hal yang lebih inti dari penderitaan perempuan. Seperti kenapa perempuan tidak dapat mengikuti alur pemikiran laki-laki, karena ada perbedaan pengertian bahasa. Atau seperti tradisi yang tidak dapat dibongkar, padahal tradisi tersebut secara jelas telah membiarkan laki-laki tetap mengopresi perempuan. Lalu, apakah hanya sekedar hak pilih maupun kemandirian ekonomi yang harus dicapai perempuan? Bukankah sudah saatnya memutus rantai kekerasan tersebut dalam segala hal, termasuk dalam memutuskan tradisi kekerasan tersebut?

Tidak ada komentar: